Apa
itu orientasi dari suatu nilai
kebudayaan?
Sebelum kita membahas apa
itu orientasi nilai budaya, mari kita telaah terlebih dahulu.
MANUSIA
Ketika kita memikirkan atau mendengar istilah
budaya, pastilah tidak terlepas dari unsur manusianya itu sendiri. Maka, manusia sangat memegang peranan sangat
penting dan unik yang dapat dipandang dari berbagai segi dan aspek.
Dalam pandangan ilmu sosiologi, manusia
adalah makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri. Dalam pandangan ilmu
fisika, manusia adalah kumpulan dari berbagai sistem fisik yang saling terkait
satu sama lain dan merupakan kumpulan energi dan pandangan ilmu lainya.
BUDAYA
Istilah “budaya” itu sendiri berasal dari
kata sansekerta yaitu “bhudayah” yang artinya budi atau akal. Namun, dalam
bahasa latin yaitu “colore” yang artinya mengolah tanah. Jadi, kebudayaan
secara umum dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dihasilkan oleh budi
(pikiran) manusia dengan tujuan untuk mengolah tanah atau tempat tinggalnya;
atau dapat diartikan pula himpunan pengalaman yang dipelajari, mengacu pada
pola –pola perilaku yang ditularkan secara sosial, yang merupakan kekhususan
kelompok sosial tertentu (keesing, jilid I. 1989;hal 68)
Apa itu
kebudayaan? Kita akan menemukan banyak sekali definisi yang dikemukakan para
sarjana bidang sosial budaya diseluruh dunia. Contoh tokoh dunia yang
mengemukakan pendapatnya tentang definisi kebudayaan adalah dua orang
antropolog terkemuka, Melville J.
Herkovits dan Bronislaw Malinowski.
Pendapat mereka adalah “Cultural
Determinism” berarti segala sesuatu yang terdapat didalam masyarakat ditentukan adanya oleh kebudayaan yang
dimiliki masyarakat itu. Kebudayaan memiliki bidang yang luasnya seolah – olah
tidak ada batas. Mengapa? karena anggota masyarakat yang senantiasa silih
berganti disebabkan kematian dan kelahiran. Maka dari itu, sukar sekali untuk
memberikan batasan definisi dan pengertian yang lebih terinci dan tegas.
Secara praktis, kebudayaan merupakan sistem
nilai dan gagasan utama (vital) yang dijadikan sebagai hakekat kebudayaan yang
dapat memberikan pola untuk bertingkah laku kepada masyarakatnya.
Hubungan manusia dan kebudayaan merupakan satu kesatuan.
Dalam ilmu sosiologi, manusia dan kebudayaan
dinilai sebagai dwitunggal yang berarti walaupun keduanya berbeda tetapi
keduanya merupakan satu kesatuan. Manusia menciptakan kebudayaan dimana
kebudayaan yang tercipta tersebut mengatur hidup manusia agar sesuai dengannya.
Misalnya, manusia menciptakan peraturan. Kemudian ia harus mematuhi peraturan yang
ia ciptakan tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa manusia tidak dapat
terlepas dari kebudayaan karna kebudayaan tersebut adalah perwujudan dari
manusia sendiri. Apa yang yang tercakup dalam satu kebudayaan tidak akan jauh
menyimpang dari kemauan manusia yang membuatnya.
ORIENTASI NILAI BUDAYA
Kluckhohn
dalam Pelly (1994) mengemukakan pendapatnya bahwa nilai budaya merupakan
sebuah konsep beruanglingkup luas yang hidup dalam alam
fikiran sebagian besar warga atau masyarakat, mengenai apa yang paling berharga
dalam hidup. Rangkaian konsep itu satu sama lain saling berkaitan dan merupakan
sebuah sistem nilai – nilai budaya.
Secara
fungsional sistem nilai
ini mendorong individu
untuk berperilaku seperti apa
yang ditentukan. Sistem nilai itu menjadi pedoman yang melekat
erat secara emosional pada diri seseorang atau sekumpulan orang, malah
merupakan tujuan hidup yang diperjuangkan. Oleh karena itu, merubah sistem
nilai manusia tidaklah mudah, dibutuhkan waktu. Sebab, nilai – nilai tersebut
merupakan wujud ideal
dari lingkungan sosialnya.
Dapat pula dikatakan
bahwa sistem nilai budaya
suatu masyarakat merupakan
wujud konsepsional dari kebudayaan mereka, yang seolah – olah
berada diluar dan di atas para individu warga masyarakat itu.
Kebudayaan sebagai karya manusia
memiliki sistem nilai. Menurut C. Kluckhohn dalam karyanya Variantions in Value
Orientation (1961), sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan didunia, secara
universal menyangkut lima masalah pokok kehidupan manusia, yaitu:
1. Hakekat
hidup manusia (MH)
Hakekat
hidup untuk setiap kebudayaan berbeda secara ekstrem; ada yang berusaha untuk
memadamkan hidup, ada pula yang dengan pola – pola kelakuan tertentu menganggap
hidup sebagai suatu hal yang baik, “mengisi hidup”.
Dalam
banyak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Budha misalnya, menganggap hidup
itu buruk dan menyedihkan. Oleh karena itu pola kehidupan masyarakatnya
berusaha untuk memadamkan hidup itu guna mendapatkan nirwana,
dan mengenyampingkan segala
tindakan yang dapat menambah rangkaian hidup kembali
(samsara) (Koentjaraningrat, 1986:10). Pandangan seperti
ini sangat mempengaruhi
wawasan dan makna
kehidupan itu secara keseluruhan.
Sebaliknya banyak kebudayaan yang berpendapat bahwa hidup itu baik. Tentu
konsep – konsep kebudayaan yang berbeda ini berpengaruh pula pada sikap dan
wawasan mereka.
2. Hakekat
karya manusia (HK)
Setiap
kebudayaan hakekatnya berbeda – beda, diantaranya ada yang beranggapan bahwa
karya bertujuan untuk hidup, karya memberikan kedudukan atau kehormatan, karya
merupakan gerak hidup untuk menambah karya lagi.
3. Hakekat
waktu manusia (WM)
Hakekat
waktu untuk setiap kebudayaan berbeda; ada yang berpandangan mementingan
orientasi masa lampau, ada pula yang berpandangan untuk masa kini focus usaha
dalam perjuangannya atau masa yang akan datang. Pandangan yang berbeda dalam
dimensi waktu ini sangat mempengaruhi perencanaan hidup masyarakatnya.
4. Hakekat
alam manusia (MA)
Ada kebudayaan
yang menganggap alam sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk dikuasai
manusia, maka manusia harus mengekploitasi alam atau memanfaatkan alam
semaksimal mungkin, Akan tetapi, ada pula kebudayaan yang beranggapan manusia
harus mencari harmoni dan keselarasan dengan alam. Cara pandang ini akan
berpengaruh terhadap pola aktivitas masyarakatnya.
5. Hakekat
hubungan manusia (MN)
Dalam
banyak kebudayaan hubungan ini tampak dalam bentuk orientasi berfikir, cara
bermusyawarah, mengambil keputusan dan bertindak. Dalam hal ini yang
mementingkan hubungan manusia dengan manusia, baik secara horizontal atau
koleteral (sesamanya) cenderung untuk mementingkan hak azasi, kemerdekaan dan
kemandirian seperti terlihat dalam masyarakat – masyarakat eligaterian.
Sebaliknya
kebudayaan yang menekankan hubungan secara vertikal (orientasi kepada tokoh –
tokoh, senioritas, penguasa atau pemimpin) cenderung untuk mengembangkan
orientasi keatas. Orientasi ini banyak terdapat dalam masyarakat paternalistic
(kebapaan). Tentu saja pandangan ini sangat mempengaruhi proses dinamika dan
mobilitas social masyarakatnya.
Ada pula
yang berpandangan individualitas (menilai tinggi kekuatan sendiri).
Orientasi Nilai Budaya
Masalah Dasar Dalam Hidup
|
||||
Konservatif
|
Transisi
|
Progresif
|
||
Hakekat Hidup
|
Hidup itu buruk
|
Hidup itu baik
|
Hidup itu sukar tetapi harus diperjuangkan
|
|
Hakekat Kerja/karya
|
Kelangsungan hidup
|
Kedudukan dan kehormatan / prestise
|
Mempertinggi prestise
|
|
Hubungan Manusia Dengan Waktu
|
Orientasi ke masa lalu
|
Orientasi ke masa kini
|
Orientasi ke masa depan
|
|
Hubungan Manusia Dengan Alam
|
Tunduk kepada alam
|
Selaras dengan alam
|
Menguasai alam
|
|
Hubungan Manusia Dengan Sesamanya
|
Vertikal
|
Horizontal / kolekial
|
Individual / mandiri
|
|
Dari lima masalah pokok dalam kehidupan
manusia yang universal yang telah disebutkan dalam tabel diatas, mempunyai cara
mengkonsep yang berbeda – beda setiap lapisan masyarakat dan kebudayaannya.
Namun, akan selalu ada lima hal masalah pokok dalam kehidupan manusia tersebut
disetiap lingkungan masyarakat maupun kebudayaan.
Sementara itu Koentjaraningrat telah
menerapkan kerangka Kluckhohn di atas untuk menganalisis masalah nilai budaya
bangsa Indonesia, dan menunjukkan titik – titik kelemahan
dari kebudayaan Indonesia
yang menghambat pembangunan nasional. Kelemahan utama antara
lain mentalitas meremehkan mutu, mentalitas suka menerabas, sifat tidak percaya
kepada diri sendiri, sifat tidak berdisiplin murni, mentalitas suka mengabaikan
tanggung jawab.
Kerangka Kluckhohn itu juga telah
dipergunakan dalam penelitian dengan kuesioner untuk mengetahui secara objektif
cara berfikir dan bertindak suku – suku di Indonesia umumnya yang menguntungkan
dan merugikan pembangunan.
Selain itu juga, penelitian variasi orientasi
nilai budaya tersebut dimaksudkan disamping untuk mendapatkan gambaran sistem
nilai budaya kelompok – kelompok etnik di Indonesia, tetapi juga untuk
menelusuri sejauhmana kelompok masyarakat itu memiliki system orientasi nilai
budaya yang sesuai dan menopang pelaksanaan pembangunan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar